Pages

Friday, 18 July 2014

Novel Botchan "坊っちゃん", karya Natsume Soseski

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA


Oleh
Darni Enzimar Putri
Gusti Nyoman Ayu Sukerti
I Made Sukadana Antara
Ni Made Suastini 
I Gede Agus Wiryawan


A. Latar Belakang Lahirnya Filsafat Analitika Bahasa

            Setiap kemunculan suatu aliran filsafat biasanya merupakan reaksi terhadap keberadaan aliran filsafat sebelumnya pada suatu zaman. Demikian halnya dengan lahirnya filsafat analitika bahasa. Latar belakang lahirnya filsafat analitika bahasa adalah ketidakpuasan  terhadap perkembangan pemikiran filsafat modern pada saat itu (idealisme, rasionalisme, maupun empirisisme). Ketika para penganut aliran-aliran filsafat modern bertikai memperdebatkan hakekat kebenaran segala sesuatu, kalangan filsuf analitika bahasa beranggapan bahwa sebenarnya masalah-masalah filsafat dapat dipecahakan melalui suatu analisis bahasa. Para filsuf analitika bahasa melihat banyak ungkapan-ungkapan metafisis dari kaum idealisme, rasionalisme, maupun empirisme sebenarnya tidak bermakna atau dengan kata lain merupakan perkataan yang tidak mengungkapkan apa-apa.



B. Filsafat sebagai Analisis Bahasa

            Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat perananan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran filosofis secara verbal, maka timbulah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan berbeda menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat.



1.  Kelompok filsuf yang beranggapan bahwa bahasa sehari-hari telah cukup memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasa-Wittgenstein) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasa oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat .

2.    Kelompok filsuf yang lain justru beranggapan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat. Menurut kelompok filsuf ini bahasa sehari-hari banyak mempunyai kelemahan seperti: kekaburan makna, tergantung konteks, mengandung emosi, dan menyesatkan. Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga kebenanaran ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafsat dapat dipertanggung jawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain: Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menutut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari tersebut. Usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perhatian filsafat memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta  makna yng terkandung di dalamnya.

C. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa
            Perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran pokok yaitu aliran atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Atomisme logis mulai berkembang pada awalabad XX di Inggris. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran sebelumnya yaitu aliran rasionalisme dan empirisme. Munculnya aliran ini sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap aliran idealisme yang pada saat itu sangat menguasai tradisi pemikiran di Inggris. Pengaruh atomisme logis kemudian diteruskan oleh aliran positivisme  yang dalam beberapa hal banyak menyetujui konsep-konsep atomisme logis. Paham positivisme logis ini dikembangkan oleh kalangan ilmuwan bidang fisika, matematika, kimia, ilmu-ilmu alam dan lain sebagainya yang berpusat di Wina. Kemudian setelah perang dunia kedua muncullah aliran filsafat bahasa biasa yang dipelopori oleh Wittgenstein. Aliran ini memiliki pengaruh yang sangat kuat baik di Inggris, Jerman, Perancis, maupun Amerika.

D. Atomisme Logis
            Nama aliran atomisme logis dikemukakan oleh Bertrand Russell dalam mengungkapkan konsep filosofisnya dalam suatu artikel yang terbit tahun 1924. Dalam artikelnya itu ia mengatakan bahwa logika itu adalah apa yang fundamental dalam filsafat, dan bahwa aliran-aliran itu seharusnya diwarnai oleh logikanya daripada metafisikanya. Ia menekankan bahwa logikanya sendiri bersifat atomis, sehingga ia lebih suka menyebut filsafatnya sebagai atomisme logis daripada realisme.
            Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oleh konsep David Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks terdiri atas ide-ide yang sederhana atau atomis yang merupakan ide terkecil. Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dipengaruhi oleh empirisme terutama John Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi idealispun juga memberikan pengaruh terhadap aliran tersebut. Pengaruh pemikiran idealisme tersebut antara lain dari F.H. Bradley dan pemikiran analitis G.E.Moore. Bradley mempengaruhi bidang formulasi logika proposisi sedangkan Moore memberikan tekanan pada ciri analisisnya.

E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley
            Munculnya aliran idealisme merupakan reaksi terhadap aliran positivisme dan  materialisme yang merajalela di Eropa pada wktu itu. Menurut aliran idealisme, realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal, dan jiwa, bukannya benda-benda material dan kekuatan. Jika materialisme mengenukakan bahwa materi adalah real, dan mind adalah fenomena yang menyertainya maka idealism menyatakan bahwa mind itulah yang real dan materi adalah produk sampingannya.
            Francis Herbert Bradley (1846-1924) adalah penganut idealisme yang fanatik dan mempunyai pengaruh yang sangat besar di Inggris. Ia berpendapat tentang hubungan antara pemikiran dengan realitas. Bradley mengkritik paham empirisme dengan mengatakan metode pengenalan empirisme itu sebenarnya bersifat psikologis dan bahwa mereka itu bekerja dengan ide-ide dan sama sekali tidak dengan putusan (judgments) atau keterangan-keterangan (proposisi-proposisi). Ide sebagaimana dimaksudkan oleh kalangan empirisme adalah isi pikiran. Kaum empirisis tertarik dengan asal-usul pikiran kita, bagaimana kita mendapatkan  kemampuan kita untuk berpikir tentang kualitas. Pada pihak lain, proposisi itu bukanlah isi dari pikiran kita , melainkan pernyataan-pernyataan tentang dunia ini, yaitu bahwa sesuatu itu adalah sedemikian rupa yang ditangkap oleh pikiran. Menurut Bradley, metode kaum empiris itu adalah suatu kesalahan. Kaum empiris kurang memperhatikan putusan atau proposisi, dan hal inilah yang menjadi sasaran kritik kaum idealis. Pemikiran-pemikran Bradley inilah yang mempengaruhi formulasi logika atomisme logis Bertrand Russell.

F. George Edward Moore
            Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik yang berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu menyatakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Atomisme logis mendapat inspirasi dari pendapat Moore bahwa analisis bahasa harus berdasarkan logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu realitas terwujud dalam bentuk proposisi-proposisi. Formulasi pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang merupakan jasa Moore terhadap lahirnya atomisme logis.

G. Filsafat Atomisme Logis Bertrand Russell
            Filsafat antomisme Bertrand Russell merupakan reaksi terhadap kuatnya paham idealisme di Inggris pada saat itu. Kelebihan dari konsep pemikiran atomisme logis Bertrand Russell adalah, ia mampu mensintesakan berbagai macam pemikiran para filsuf sebelumnya atau yang sezaman dengan dia. Beberapa pemikiran yang ikut masuk dalam atomisme logis adalah pemikiran empirisme dari  John Locke dan David Hume, pemikiran idealisme dari Bradley, dan juga pemikiran dari G.E.Moore sebagai seorang filsuf perintis filsafat analitik. Russell menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada metafisika, melainkan lebih didasarkan pada logika karena menurutnya logika merupakan hal yang paling fundamental dalam filsafat.
1.       Formulasi Logika Bahasa
            Sebagaimana yang diungkapkan Russell bahwa masalah filsafat justru muncul karena keterbatasan bahasa sehari-hari dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam filsafat. hal ini karena kurangnya pemahaman formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu menetukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa. Russel mengatakan bahwa ada satu kalimat yang memiliki struktur gramatikal yang sama namun berbeda dalam hal struktur logisnya. Dengan memahami formulasi logis dari sebuah ungkapan, kita dapat membedakan antar bentuk logis gramatikal dengan bentuk logis semantiknya.
2.        Prinsip kesesuaian ( isomorfi )
            Menurut pandangan Russel, seluruh pengetahuan hanya dapat dipahami apabila diungkapkan dalam bahasa logika. Analisis harus didasarkan pada struktur logika, sehingga analisis dilakukan dengan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan pernyataan-pernyataan yang tersusun menjadi suatu sistem yang menunjuk kepada suatu entitas atau unsur pada realitas dunia. Analisis bahasa yang benar dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang realitas dunia, karena unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomik) merupakan gambaran unsur paling kecil dari dunia fakta (fakta atomik). Dengan lain perkataan Russel menegaskan bahwa terdapat suatu kesesuaian bentuk atau struktur antara bahasa dengan dunia, atau terdapat suatu isomorfi antara struktur bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, adapun fakta terungkapkan melalui bahasa sehingga terdapat suatu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur realitas dunia. Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu kata atau ungkapan.
            Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang pemberian dasar acuan (reference) bagi kata atau istilah sebagai unsur-unsur bahasa itu, kita dapat melihat pada pengelompokan berikut:
1.   Nama diri; yaitu jenis-jenis kata yang mengacu pada nama pengganti diri atau sesuatu yang ditunjuk oleh nama diri tersebut. Misalnya: Bali, kuda, Wayan, dll.
2.  Nama diri logik (kata-kata deiktik); yaitu jenis-jenis kata yang mempunyai acuan lebih dari satu, yang maknanya sangat bergantung pada si penutur atau situasi penuturannya. Misalnya jenis kata penunjuk, “ini’, ‘itu”, dan jenis kata ganti , “aku’, ‘dia”, ‘engkau” dan lain-lain.
3.      Deskripsi penunggal; yaitu rangkaian kata yang mengacu pada seseorang atau sesuatu menurut batasan yang telah ditentukan dalam deskripsi tersebut. Misalnya: __’ pemenang piala dunia sepak bola 1998 di Perancis’. Deskripsi ini mengacu pada kesebelasan Perancis.
            Uraian mengenai pemberian dasar acuan terhadap kata atau istilah tersebut merupakan salah satu upaya Russel untuk membuktikan adanya kesepadanan atau kesesuaian (isomorfi) antara unsure bahasa dengan unsure realitas.

3. Struktur Proposisi
            Atomisme logis menggambarkan bahwa bahasa ideal merupakan kumpulan besar proposisi-proposisi yang tak terbatas yang tersusun atas proposisi sederhana, elementer, atau atomis. Dunia pada hakikatnya merupakan suatu keseluruhan fakta-fakta, dan fakta-fakta tersebut terungkapkan melalui bahasa yang disebut proposisi. Fakta-fakta itu sendiri sebenarnya tidak dapat bernilai benar atau salah, yang dapat diberi kualifikasi benar atau salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta tersebut.
            Menurut Russel, suatu proposisi (dapat bernilai benar atau salah) yang menjelaskan suatu fakta atomik disebut sebagai proposisi atomik. Proposisi atomik ini merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana, karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk. Setiap proposisi atomik  mempunyai arti/makna sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain. Dengan memberikan kata penghubung maka kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russel memberikan contoh untuk menjelaskan proposisi atomik dan proposisi majemuk tersebut sebagai berikut.
“Sokrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana” ini merupakan proposisi majemuk yang terdiri atas dua fakta atomik yaitu:
1. “Sokrates adalah warga Athena”, dan
2. “Sokrates adalah seorang yang bijaksana”
Kedua proposisi tersebut mebentuk suatu proposisi yang majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang”.
            Menurut Russel ”kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi molekuler atau proposisi majemuk ini tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomik yang terdapat di dalamnya.

H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Atomisme Logis adalah suatu ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah-pecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi-proposisi elementer, melalui teknik analisis logik atau analisis bahasa. Kaum Atomisme Logis bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas.Sumber kepustakaan ajaran ini: (1) Logic and Knowlegde hasil karya Bertrand Russel dan (2) Tractatus Logico Philosophicus  karya Ludwig Wittgenstein.
Karya Ludwig Wittgenstein:
-       Logisch Philosophische Abhandlungen (ulasan-ulasan logis dan filosopfis) tahun 1912.
-  Tractatus Logico Philosophicus  (ulasan filosofis yang ketat tentang filsafat Atomisme Logis) merupakan edisi baru dari buku sebelumnya. Buku ini adalah karya besar di bidang filsafat, berisi uraian singkat yang merupakan suatu proposisi yang secara sistematis diberi nomor untuk memudahkan memahami makna yang padat di dalamnya.
-       Philosophical Investigations (konsepnya bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya).

1. Peranan Logika Bahasa
Wittgenstein sependapat dengan Bertrand Russel bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Tanpa filsafat pikiran itu akan mengawang dan tidak jelas, sehingga tugas filsafat adalah membuat jelas dan batas-batas pengertian yang jelas.
Wittgenstein dikatakan telah menggunakan logika bahasa yang sempurna sehingga menghindari ungkapan yang tidak bermakna. Dia berpendapat filsuf-filsuf terdahulu masih meninggalkan ketidakjelasan dalam memecahkan dan merumuskan problema-problema filsafat karena mereka tidak mengerti dengan logika bahasa. Hal ini dituangkannya dalam karya besarnya  Tractatus Logico Philosophicus  dan struktur bahasa yang digunakan dalam uraian filosofisnya berdasarkan suatu stuktur logika. Atas dasar inilah ia diberi gelar doktor filsafat di Trinity College di Cambrigde.

2.  Pemikiran Filosofis Tractacus
            Konsep pemikiran Wittgenstein dalam  buku Tractacus terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara logis memilki hubungan.
Pertama       : dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri dari fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas).
Kedua             : setiap pposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.

Menurut Wittgenstein yang dimaksud dengan fakta, adalah suatu peristiwa (state of affairs) atau suatu keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia. Fakta adalah suatu keberadaan peristiwa, yaitu bagaimana objek itu memiliki interrelasi, hubungan kausalitas, kualitas, aksi, kuantitas, ruang, waktu dan keadaan. Inilah yang dimaksud dunia itu terdiri atas fakta-fakta dan dapat dijelaskan dalam arti hubungan antara satu dengan yang lainnya, dunia itu adalah jumlah keseluruhan dari fakta, dari fakta yang kompleks, kurang kompleks, makin kurang kompleks, sampai akhirnya menjadi fakta yang paling elementer (fakta atomis) yang tidak dapat diredusir lagi.

3. Struktur Logika Bahasa
            Konsep Wittgenstein tentang logika bahasa dalam mengungkapkan realitas dunia diuraikannya dalam pernyataannya yang kedua sebagai berikut:
3.       Sebuah gambaran logis dari suatu kenyataan itu adalah sebuah pikiran.
3.1    Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati oleh indera.
3.2    Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran dapat diungkapkan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur dari tanda proposisi berkesesuaian dengan objek dari pikiran.
3.2.1  Sebuah proposisi hanya mempunyai satu analisis yang lengkap.
3.3     Proposisi-proposisi yang mempunyai makna adalah proposisi yang berhubungan dengan sebuah nama, dan nama itu bermakna manakala dalam hubungannya dengan proposisi.
4.       Sebuah pikiran adalah sebuah proposisi yang bermakna.
4.1     Jumlah keseluruhan (totalitas) dari proposisi itu adalah bahasa.
4.2    Sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita bayangkan.

            Menurut Wittgenstein, bagian terakhir (ultimate constituent) dari segala sesuatu itu terpancang di dalam hakikat sesuatu itu. Setiap proposisi elementer itu hanya memiliki satu saja analisis yang final dengan dasar asumsi bahwa setiap propossi itu mempunyai satu makna tertentu secara sempurna. Setiap proposisi itu harus dapat dianalisis menjadi proposisi-proposisi dasar, karena  hanya proposisi dasarlah yang bebas dari segala macam makna ganda dari segala kemungkinan salah paham atau salah arti.
            Proposisi-proposisi dasar adalah bangunan akhir dari bahasa atau jumlah keseluruhan proposisi itu adalah bahasa. Sebuah proposisi dasar itu adalah suatu proposisi, yang seluruhnya terdiri atas nama-nama. Sebuah nama tidak dapat dipecah-pecah lebih lanjut dengan cara definisi. “Nama” dalam pengertian ini menurut istilah Wittgenstein adalah sebagai tanda pertama (primitif).
            Sebuah nama itu berarti sebuah objek, dan objek itu adalah maknanya. Jadi jikalau tidak ada objek maka fungsi dari proposisi-proposisi dasar hanya akan terdiri atas istilah-istilah (terms) yang tidak mempunyai arti, dan dengan demikian menjadi tidak berarti atau tidak bermakna.
            Wittgenstein menyatakan bahwa proposisi-proposisi yaitu suatu proposisi dasar mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa (state of affairs). Jadi sebuah proposisi dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah fakta itu adalah keberadaan suatu peristiwa. Oleh karena proposisi dasar itu adalah bagian akhir dari proposisi-proposisi, dan keseluruhan proposisi adalah bahasa. Dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta, maka suatu kesimpulan logis yang dapat ditarik adalah bahwa kebenaran dari dunia itu hanya dapat dinyatakan dalam bahasa. 

4. Teori Gambar (Picture Theory)
            Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Hal itu diungkapkan Wittgenstein dalam “Tractatus” sebagai berikut:
          “Sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia. Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita bayangkan” (4.01)
“Proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia, maka jika saya memahami proposisi itu berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secara faktual (fakta) yang dihadirkan melalui suatu proposisi tersebut. Demikian juga dengan mudah saya dapat memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung di dalamnya (4.112). 

         Struktur logika bahasa yang digunakan Wittgenstein dalam mengungkapkan suatu realitas dimaksudkan untuk mengatasi kekaburan-kekaburan, sehingga dalam memahami realitas dunia, manusia hanya akan memberikan suatu keputusan benar atau salah, bermakna atau tidak bermakna ungkapan yang menjelaskan dunia.

        Dalam pengertian ini, seperti yang pernah diungkapkan melalui konsep Aristoteles, Wittgenstein berupaya untuk benar-benar menempatkan struktur logika untuk mengungkapkan suatu realitas dunia. Kerangka logis bahasa dalam mengungkapkan suatu realitas tersebut sebagai suatu kritik yang tajam terhadap kebanyakan filsuf saat itu yang merupakan kaum idealisme. Jadi menurut Wittgenstein bahwa ungkapan yang dikemukakan oleh kalangan metafisikus itu sama sekali tidak mengungkapkan suatu realitas apapun. Menurut Wittgenstein pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau yang dihadirkan di dalamnya.
            Menurut Von Wright (sahabat Wittgenstein), fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein sehingga kita dapat membalik arti kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan kesesuaian antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta.
            Unsur-unsur gambar adalah sarana dalam bahasa, seperti kata, frase, klausa maupun kalimat. Sedangkan unsur realitas yaitu suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian terdapat dua unsur utama yang mendukung teori gambar tersebut yaitu: (1) proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat dan (2) fakta yang ada dalam realitas.
Oleh karena proposisi merupakan  suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, maka keberadaan suatu peristiwa itu tidak dapat benar atau salah, adapun proposisi sebagai sarana yang berupa suatu ungkapan yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yang dapat dikenakan kualifikasi benar atau salah (Bertens, 1981: 44). Suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau berkesuaian dengan suatu keberadaan peristiwa, dan sebaliknya suatu proposisi  mengandung suatu kesalahan manakala tidak berkesesuaian  dengan suatu keberadaan peristiwa (Wittgenstein, 1969: 94).
            Selain proposisi yang menggambarkan keberadaan suatu peristiwa, terdapat pula proposisi-proposisi logika yaitu kebenaran-kebenaran yang berdasar pada prinsip-prinsip logis. Hal itu termasuk tautologi-tautologi, atau kontradiksi-kontradiksi. Misalnya proposisi “Si A sedang berada di kantor atau ia tidak berada di kantor” yang merupakan kebenaran tautologis, dan “Si A berada di kantor dan ia tidak berada di kantor” yang merupakan suatu kontradiksi.
5. Tipe-tipe Kata (Words Types)
            Dalam penentuan tipe-tipe kata, perlu dibedakan pengertian konsep nyata, yaitu tipe kata yang termasuk memiliki acuan kongkrit seperti: meja, kursi, mobil, tongkat, bola dan lain sebagainya. Berikutnya, tipe kata yang termasuk pengertian konsep formal, misalnya arti, objek, kompleks, fakta, fungsi, angka dan ada, yaitu termasuk tipe-tipe kata yang mengacu pada suatu konsep yang bersifat formal dan hal ini sebenarnya menurut Wittgenstein bukanlah merupakan suatu konsep, hal tersebut sebenarnya termasuk pengertian nama variabel, yaitu yang harus diisi oleh konsep nyata (Charlesworth, 1959: 81).
            Problema-problema filsafat timbul karena kekacauan para filsuf dalam penggunaan bahasa, yaitu mencampuradukkan pemakaian ungkapan konsep nyata dengan konsep formal. Konsep formal tidaklah sama dengan konsep nyata yang hadir melalui suatu fungsi yang dimilikinya. Sejauh dapat diajukan peng-ia-an maupun pengingkaran terhadap suatu pernyataan, maka itu menunjukkan bahwa pernyataan tersebut termasuk konsep nyata.
            Pengembangan lebih lanjut tentang word types tersebut dilakukan oleh Wittgenstein pada filsafat pada periode kedua yaitu pada teori language game, yang dalam kenyataannya visi dasar filosofisnya sangat berbeda  bahkan dapat dikatakan berlawanan.
6. Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika
Berdasarkan pandangan filosofisnya maka teori gambar memiliki konsekuensi logis menolak proposisi-proposisi metafisis karena menurut Wittgenstein proposisi tersebut tidak bermakna. Ketidakbermaknaan proposisi metafisis tersebut didasarkan atas teorinya bahwa proposisi tersebut tidak mengungkapkan apa-apa atau dengan lain perkataan bersifat "omong-kosong". Tentu saja penolakan atas proposisi metafisika tersebut menurut atas nama “logika bahasa’.  Menurut Wittgenstein filsafat bukanlah merupakan suatu ajaran melainkan merupakan suatu aktivitas. Tugas filsafat menurut Wittgenstein adalah menjelaskan kepada seseorang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan. Menurut Wittgenstein metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan, namun demikian Wittgenstein menyatakan bahwa memang terdapat hal-hal yang memang tidak dapat dikatakan yaitu ha-ha1 yang bersifat mistis. Hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa tersebut menurut Wittgenstein adalah subjek, kematian, Allah dan bahasa sendiri.
Pendapat Wittgenstein tentang hakikat bahasa bahwa bahasa seakan-akan hanya merupakan suatu struktur fisis dan logis, ia lupa bahwa dalam berbagai hal ia menunjukkan bahasa yang bermakna, yang berarti mengakui bahwa terdapat unsur metafisik dari bahasa yaitu makna.
I. Positivisme Logis
Filsafat positivisme logis bermula dari perkembangan suatu gerakan filsafat baru di Wina, yang muncul pada tahun 1922 dengan perintis seorang filsuf bernama Moritz Schlik. Anggota gerakan ini adalah Neurath, Hans Hahn, Rudolf Carnap beserta ahli- ahli matematika, sosiolog dan ahli-ahli fisika lainnya. Kemudian Neurath, Hans Hahn dan Rudolf Carnap megeluarkan deklarasi ilmiah dalam sebuah kongres Internasional pertama yang berjudul Wissenscaftliche Weltauffasung : der Wiener Kreis ( pandangan dunia yang bersifsat ilmiah : Lingkungan wina ). Pandangan-pandangan ini, menguraikan pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina yang diwarnai oleh ilmu-ilmu pengetahuan positif. Aliran ini mendapat pengaruh positivisme, sehingga aliran ini disepakati dengan nama “Neopositivisme atau “Positivisme logis.
Aliran Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan yaitu:
  1. Untuk menghilangkan metafisika. Dengan alasan mendasar bahwa ungkapan- ungkapan metafisis        tidak  menyatakan apa-apa sehingga bersifat “Nirarti” atau tidak bermakna ( Poerwowidagdo:52 )
  2. Positivisme logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah bukan untuk menganalisis pernyataan- pernyataan fakta ilmiah.
Aliran positivisme logis memiliki corak pemikiran yang jelas. Corak pemikirannya yang utama adalah bersifat positif, pasti, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Terdapat lima asumsi yang dijadikan dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, yaitu realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko-empirisme ( Asep Ahmad Hidayat : 62 ). Realitas objektif yang dimaksud oleh positivisme logis adalah bahwa hanya ada satu realitas yang dapat diketahui sepenuhnya melalui pengalaman. Reduksionisme adalah asumsi yang menyatakan bahwa kita dapat mengetahi dunia dengan cara mereduksi ke dalam bagian-bagian kecil. Asumsi bebas nilai adalah asumsi yang ada pada sains. Determinisme mengatakan bahwa alam ini berada dalam lingkup aturan yang bersifat determinis atau pasti dan linier. Logiko-empiris adalah asumsi yang menyatakan bahwa suatu proposisi dapat dikatakan bermakna , jika proposisi itu dapat diverivikasi dengan pengalaman indrawi. Aliran positivisme logis bertahan selama 14 tahun. Aliran ini bubar sejak kematian Moritz Schlick pada tahun 1936.
1. Analisis Logis terhadap Bahasa
Masalah yang diperhatikan oleh Positivisme logis adalah analisis pengetahuan dan pendasaran matematika serta ilmu pengetahuan alam termasuk juga psikologi dan sosiologi. Menurut aliran positivisme logis, tugas mendasar filsafat adalah analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu, filsafat hanya akan menganalisis permasalahan dan memberikan penjelasan dan  tidak akan memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan ilmiah . Atas dasar tersebut maka kaum positivisme logis menentukan sikap bahwa analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dan filsafat merupakan langkah yang paling tepat.
2. Prinsip Verifikasi
Memverifikasi berarti menguji dan membuktikannya secara empiris. Prinsip verivikasi yang dikembangkan oleh aliran positivisme logis adalah keharusan bahwa suatu pernyataan atau proposisi itu secara prinsip memiliki kemungkinan untuk diverivikasi secara empiris. Vervikasi tidak harus dijamin dengan kebenaran hasil dari verivikasi tersebut. Sehingga setiap pernyataan  atau proposisi yang secara prinsip tidak dapat diverivikasi,  pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna.
3. Konsep Proposisi
Kalangan positivisme logis memegang teguh doktrin bahwasannya tugas filsafat adalah menentukan dan memperjelas pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Positivisme logis membedakan pengertian proposisi menjadi dua macam, yaitu proposisi empiris dan proposisi formal ( proposisi analitis ). Proposisi empiris adalah proposisi faktual yang harus dapat diverivikasi secara empiris. Proposisi formal atau proposisi analitis adalah proposisi yang kebenarannya tidak memerlukan verivikasi secara empiris. Lebih lanjut seorang tokoh positivisme logis, yaitu Ayer membahas tentang ciri-ciri proposisi analitis sebagai berikut:
1)      Proposisi analitis memiliki ciri benar berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolnya.
2)  Proposisi analistis tidak berdasarkan pada pengalaman, melainkan berdasarkan pengetahuan a priori ( pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis tanpa melalui pengalaman empiris).
3)      Proposisi analistis mengandung kepastian dan keniscayaan, memiliki kebenaran tautologi , pernyataan yang benar berdasarkan hukum-hukum logika.
4)      Proposisi analitis adalan proposisi yang didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti.

4. Peranan Logika dan Matematika
Tokoh-tokoh dalam aliran positivisme logis adalah pakar-pakar dari bidang ilmu alam dan matematika. Dapat dipastiakan bahwa mereka meletakkan perhatian yang khusus terhadap logika dan matematika dalam pemikiran filsafatnya. Relasi-relasi dalam matematika tidak dapat ditangani dengan menggunakan sistem logika tua yaitu, subjek, kopula dan predikat. Oleh karena itu, mereka harus mengembangkan suatu teori logis yang baru, yang menyoroti relasi-relasi lain. Logika baru dan hubungannya dengan matematika menginginkan peranan yang sangat penting bagi pendukung positivisme logis. Dengan demikinan mereka menjadi lebih memahami dengan baik kedudukan khusus logika dan matematika dalam ilmu pengetahuan. Logika dan matematika bersifat a priori dan hanya menyatakan relasi-relasi pikiran.

5. Konsepsi Positivisme Logis tentang Filsafat
            Pada awalnya, kaum positivisme logis sepakat untuk membangun filsafat yang bersifat ilmiah, namun pada kenyataannya mereka menentukan bahwa filsafat tidak memiliki wilayah penelitian sendiri. Menurut Sclick filsafat tidak memiliki tugas lain kecuali menjelaskan kata-kata serta ucapan-ucapan dan menyingkirkan ucapan-ucapan yang tidak memiliki makna. Ilmu pengetahuan memverivikasi ucapan sedangkan filsafat menelaah ucapan-ucapan tersebut.
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Carnap dalam karyanya yang berjudul “ Sintaksis Logis dari Bahasa “yang mengemukakan bahwa filsafat harus menyelidiki sintaksis logis dari ucapan-ucapan ilmiah, artinya struktur logis dari ucapan tersebut. Carnap juga menyadari analisis logis tidak dapat dipisahkan dari masalah bermakna atau tidaknya bahasa yang diselidiki. Jadi filsafat tidak boleh melewati masalah teori pengetahuan, juga dalam menyelidiki pendasaran ilmu pengetahuan. Kesimpulannya adalah kaun penganut aliran positivisme logis mempunyai konsepsi yang jelas tentang cara membatasi tugas filsafat terhadap usaha-usaha intelektual yang lain. Sepanjang sejarah, filsafat terfokus pada 3 hal, yaitu:
1.      Masalah, masalah yang menyangkut fakta-fakta empiris.
2.     Masalah-masalah yang menyangkut pengekspresian pengetahuan kita atau dengan kata lain perkataan melalui ungkapan bahasa.
3.      Masih terdapat masalah-masalah metafisis.

6. Bahasa Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Anggota-anggota lingkungan wina berusaha untuk mempersatukan ungkapan-ungkapan ilmu pengetahuan melalui bahasa universal yang sama. Untuk mewujudkan hal tersebut, Carnap sebagai salah satu tokoh positivisme logis, mencoba membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dapat diasalkan pada pengalaman-pengalaman elementer subjek melalui bukunya yang berjudul Konstruksi Logis Dunia. Pendapat lain dari Neurath tentang kesatuan ilmu pengetahuan tersebut membawa dia kepada apa yang disebut “fisikalisme”. Fisikalisme bermaksud menyangkal semua perbedaan prinsipal antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan kultural.

J. Positivisme Logis Alfred Jules anyer
            Ayer adalah seorang filsuf oxford Inggris yang mengembangkan konsep filosofis positivisme logis secara lebih radikal. Latar belakang ilmu yang dikuasainya adalah ilmu pasti dan logika. Selain itu beliau juga menguasai ilmu bahasa dan filologi, sehingga beliau dapat menerbitkan sebuah karya “ Language Truth and Logic” yang merupakan karya yang sangat terkenal dan memiliki pandangan yang sangat radikal.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum positivism logis lebih memfokuskan pada bermakna atau tidaknya suatu ungkapan, sehingga mereka menentukan apa yang kita kenal dengan prinsip verivikasi. Dalam bukunya Ayer merumuskan verivikasi sebagai sebuah prinsip, yaitu bahwa prinsip verivikasi bermaksud untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dan bukan untuk menentukan suatu kriteria kebenarannya. Menurut anyer suatu ungkapan itu bermakna apabila ungkapan itu merupakan suatu pernyataan yang menyangkut realitas inderawi. Lebih lanjut Ayer menekankan dua macam pengertian verivikasi sebagai berikut :
1.  Verifikasi dalam arti yang ketat, yaitu sejauh kebenaran proposisi itu didukung oleh pengalaman secara meyakinkan.
2. Verifikasi dalam arti yang lunak , yaitu apabila suatu posisi itu mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.
     Maka untuk menentukan benar atau tidaknya suatu ungkapan matematika dan logika maka kita tidak dapat meninggalkan bahasa karena kebenarannya sangat tergantung pada makna symbol yang digunakannya, sehingga kebenarannya bersifat pasti atau bersifat tautologi.

K. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
            Konsep pemikiran filsafat analitik sebagai akar dari kelahiran filsafat bahasa biasa muncul akibat adanya rasa tidak puas akan perkembangan dunia pemikiran filsafat yang didominasi oleh tradisi idealisme yang mengutamakan kedudukan aspek metafisika. Sebaliknya, aliran filsafat analitik berkembang dengan menaruh perhatian yang besar pada bidang bahasa karena dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa analisa bahasa dapat menjelaskan masalah-masalah filsafat.
            Seiring dengan perkembangan dan perubahan pesat yang terjadi di dalam ruang lingkup filsafat analitika, beberapa pandangan seperti atomisme logis dan positivisme logis mengalami kemunduran dan digantikan oleh sebuah konsep pemikiran baru yang dipelopori oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Kemunculan konsep ini didasari oleh pemahaman bahwa teknik analisa bahasa yang dititikberatkan pada pencarian makna bahasa (semantis) hanya akan menggiring ke arah terbentuknya pernyataan yang tidak bermakna. Oleh sebab itu, muncul pemikiran tentang pengkajian bahasa dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wittgenstein menghasilkan sebuah karya berjudul ‘Tractatus Logico Philosphicus’ atau dikenal dengan Wittgenstein I yang menitikberatkan pada logika bahasa. Wittgenstein beserta para tokoh filsafat analitik yang lain pada awalnya menaruh perhatian besar pada aspek semantik dari sebuah bahasa. Melalui kategori-kategori logika, para pakar ini kemudian menentukan bahasa yang bermakna (meaningful) dan yang tidak (meaningless). Mereka menentang aliran filsafat idealisme dengan mengemukakan bahwa ungkapan-ungkapan metafisik yang dianut oleh para filsuf idealisme di bidang teologi, etika, aksiologi, estetika dan ontologi sebagai ungkapan yang tidak bermakna karena tidak menggambarkan realitas empiris (Kaelan, 2002:142). 
            Dalam perkembangan selanjutnya, Wittgenstein menemukan kelemahan dalam pemikiran yang diajukannya dalam karya Tractatus. Konsep tersebut gagal menyentuh seluruh realitas yang terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Pada periode Tractatus ia berpendapat bahwa kalimat mendapat maknanya hanya dengan satu cara, yaitu dengan cara mengembalikannya pada bahasa logika (Hidayat, 2009:76). Kelemahan periode pertama tersebut digunakan sebagai dasar untuk konsep periode kedua yang membahas tentang sisi pragmatis dalam penggunaan bahasa.    
       
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II
Philosophical Investigations (PI)
Wittgenstein kemudian menghasilkan sebuah karya baru berjudul ‘Philosphical Investigations’ sebagai bentuk koreksi atas kesalahan dan kelemahan teori yang telah dia kemukakan di buku pertamanya ‘Tractatus’. Dalam buku kedua ini, Wittgenstein menyadari bahwa logika tidak dapat dijadikan sebagai dasar memformulasikan sebuah filsafat bahasa. Wittgenstein mulai menaruh perhatian ada sisi pragmatik sebuah bahasa yang menggambarkan pemakaian bahasa berdasarkan konteks yang berbeda.
            Dalam ‘Tractatus’, Wittgenstein menyatakan bahwa bahasa merupakan suatu kumpulan proposisi yang mengandung realitas fakta sesuai dengan  keberadaan suatu peristiwa . Sedangkan pada buku kedua, Wittgenstein menyatakan bahwa bahasa mengungkapkan banyak hal selain proposisi logis dengan fungsi kebenaran. Jadi, bahasa juga digunakan untuk mengungkapkan banyak gejala bahasa  seperti pertanyaan, perintah, lelucon, bersenda gurau dan lain sebagainya. Wittgenstein pada  akhirnya menyadari bahwa pemikiran filosofis juga dapat diungkapkan oleh bahasa yang digunakan sehari-hari dalam konteks yang beragam namun tetap saling berhubungan.
            Suatu cara yang terbaik untuk menggambarkan hubungan diantara kedua karya Wittgenstein itu adalah dengan mengatakan bahwa PI merupakan pengembangan dari gagasan sebelumnya (Mustansyir, 1995:82). Dengan kata lain, dalam konsep yang kedua ruang lingkup pembahasan makna tidak terletak pada konsep logika faktual (meaning is picture), melainkan pada konteks penggunaan dalam bahasa sehari-hari (meaning is use). 

1.  Tata Permainan Bahasa (Language Games)
             Philosophical Investigations membuka pemikiran filsafat yang menitikberatkan pada bahasa biasa dan bahkan mampu membuka pemikiran filsafat yang baru karena mengandung thesis dan pernyataan-pernyataan yang kuat. Wittgenstein menekankan pada aspek pragmatik dengan berpendapat bahwa “makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa bahasa itu adalah penggunaanya di dalam hidup.” (P.I., par:340)
Pandangannya ini merujuk pada kenyataan bahwa bahasa tidak hanya memiliki struktur logis, namun juga bersifat kompleks karena digunakan oleh manusia di berbagai bidang. Oleh sebab itu, Wittgenstein menyatakan bahwa kita seharusnya belajar dari proses penggunaan bahasa dan filsafat bertugas untuk menguraikan penggunaan bahasa sesungguhnya. Ia berpendapat bahwa makna suatu ungkapan tergantung pada penggunaan bahasa tertentu karena bahasa memiliki banyak fungsi yang berbeda.
Proses mempelajari bahasa biasa (ordinary language) dalam konteks kehidupan sehari-hari menyebabkan munculnya jenis-jenis bahasa baru yang sangat bervariasi. Wittgenstein kemudian menggunakan istilah ‘language games’ atau tata permainan bahasa karena menurut penggunaannya, bahasa merupakan suatu bentuk kehidupan  yang memiliki aturan. Yang dimaksudkan dengan ‘language games’ adalah bahwa bahasa dalam penggunaannya merupakan suatu aktivitas atau bentuk kehidupan (that the speaking language is part of an activity, or on form of life).
 Bahasa dan ragam bentuknya mengandung aturan permainan yang mencerminkan ciri khas permainan bahasa itu sendiri. Variasi dalam kehidupan manusia perlu ditunjang oleh  bahasa yang juga digunakan dalam konteks-konteks berbeda dan memiliki aturan main masing-masing. Wittgenstein menggunakan analogi peraturan permainan catur untuk menggambarkan bahwa setiap permainan memiliki aturan yang kemudian menjadi pedoman dalam tata permainan. Bahasa, menurut Wittgeinstein, juga memiliki seperangkat aturan permainan yang harus diikuti oleh masyarakat ilmiah.
            Ragam bahasa yang berbeda seperti bahasa ilmiah dan informal memiliki aturan permainan khusus yang tidak boleh dicampuradukkan karena dapat berdampak pada timbulnya kekacauan. Dengan kata lain, kita tidak dapat menentukan suatu aturan permainan bahasa yang dapat digunakan secara umum dalam berbagai bentuk kehidupan manusia .
            Wittgeinsten tidak lagi berupaya membangun bahasa ideal yang berstruktur logis seperti dalam buku pertamanya, tapi lebih menekankan bahwa makna bahasa itu sangat bergantung pada penggunaannya di dalam kehidupan manusia.Sehingga, bahasa akan memiliki makna bila mampu menggambarkan aturan yang terdapat dalam setiap konteks kehidupan. Bahasa, menurut Wittgenstein, adalah suatu instrumen atau alat dan dalam banyak hal, makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa (Sumarsono,2004:38).
            Wittgeinsten juga menegaskan bahwa kata atau kalimat yang memiliki dasar kemiripan yang sama akan menghasilkan makna yang berbeda jika digunakan dalam konteks yang mengandung aturan permainan yang berbeda. Sebagai contoh adalah penggunaan kata ‘aku’ dan ‘engkau’ yang menghasilkan konsekuensi makna yang berbeda jika digunakan dalam konteks penutur dengan strata sosial yang berbeda. Kata ‘aku’ jika digunakan dalam konteks pertemanan sebaya akan menimbulkan suasana keakraban, namun jika digunakan sebagai penunjuk kata ganti orang pertama dalam pembicaraan lintas generasi (berbeda usia), maka akan menghasilkan ujaran yang dipandang kurang pantas atau tidak sopan.

2.    Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat
            Wittgenstein mengajukan kritik atas kelemahan bahasa dalam ilmu filsafat melalui konsep ‘tata permainan bahasa’ karena menurutnya, banyak ungkapan filsafat metafisis yang tidak melukiskan realitas dunia secara empiris. Ia mengkritik bahwa timbulnya masalah dalam filsafat bahasa disebabkan karena para filsuf mengacaukan  penerapan ‘tata permainan bahasa’ dengan tidak mengikuti aturan yang sudah ada dalam bahasa sehari-hari. Satu hal mendasar yang perlu digarisbawahi adalah bahwa setiap bentuk permainan bahasa memiliki aturan tersendiri, yang jika dicampuradukkan akan menghasilkan kekacauan pemahaman.
            Ada tiga hal mendasar yang dipandang sebagai sebab timbulnya masalah dalam bahasa filsafat. Pertama, kekacauan muncul karena penggunaan istilah atau ungkapan bahasa filsafat tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa. Kedua, munculnya kecenderungan untuk menarik pengertian yang bersifat umum untuk menggambarkan gejala yg berbeda. Wittgenstein menyebutnya dengan istilah ‘Craving for Generality’ yang mengandung pengertian bahwa kemajemukan, perbedaan, dan variasi dicoba untuk dirangkum menjadi satu kesatuan yang umum. Hal yang terakhir adalah munculnya penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dipahami kebenarannya. Wittgenstein kemudian menyarankan bahwa sebaiknya penyamaran yang sulit untuk dipahami tersebut harus dilewati atau dihindari saja dengan menganggapnya sebagai omong kosong (Mustansyir, 1995:90).

3. Tugas Filsafat
            Kelemahan yang muncul pada bahasa filsafat dapat diatasi apabila filsafat digunakan sebagai dasar dalam proses analisa bahasa. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menempatkan filsafat sebagai analisis yaitu:
-          Aspek penyembuhan (therapheutics) dengan cara menghilangkan kekacauan yang terjadi dalam filsafat bahasa
-          Aspek metodis yang mencakup langkah-langkah yang digunakan dalam berfilsafat untuk menghindari kekacauan tersebut, yaitu:
a.  Landasan yang digunakan dalam berfilsafat adalah penggunaan bahasa sehari-hari dengan memperhatikan aturan permainan bahasa berdasarkan konteks yang ada.
b.    Kekacauan dalam berfilsafat dapat dikurangi dengan memperhatikan penggunaan bahasa dan menyusun apa yang sudah ada di sekitar kita, bukan dengan cara mencari keterangan yang baru
c.  Metode analisis bahasa harus menduduki posisi yang netral dan tidak ikut campur dalam memberikan interpretasi terhadap realitas. Hal ini disebabkan karena filsafat membeberkan apa yang terjadi sebagaimana adanya, tanpa memberikan dasar apapun terhadap proses penafsiran.
            Dengan kata lain, filsafat pada prinsipnya memeriksa dan memaparkan penggunaan bahasa secara objektif sesuai dengan penggunaan bahasa yang terjadi secara aktual. Dalam bukunya yang berjudul ‘Tractatus’, Wittgenstein menegaskan bahwa ungkapan metafisika tidak bermakna sehingga yang menjadi penting adalah struktur logis suatu bahasa. Sedangkan dalam buku kedua yang berjudul ‘Philosophical Investigations’, Wittgenstein membantah konsep di buku pertamanya dengan menggunakan pendekatan pragmatis pada penggunaan bahasa sehari-hari. Dia menekankan bahwa ungkapan metafisika akan memiliki makna jika digunakan dalam konteks tertentu. Filsafat bagi Wittgenstein bertugas atau berfungsi untuk memaparkan analisa bahasa tanapa ikut campur di dalam keaktualan suatu fenomena. Konsep yang dikenalkan Wittgenstein ini menjadi dasar pembaharuan filsafat di Eropa dan menjadi titik tolak perkembangan aliran Oxford.

L. Beberapa Filsuf dari Oxvord
Pengaruh filsafat bahasa biasa Wittgenstein dikembangkan dengan berbagai macam modifikasi oleh filsuf yang terkenal di Oxvord, yaitu :

I. Gilbert Ryle
            Pemikiran filsafat Ryle berdasarkan pada filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy), tapi unsur logika juga mempengaruhi pemikirannya, seperti bukunya yang paling populer “The Concept of Mind”. Ia membahas berbagai macam penggunaan bahasa sehari-hari, terutama dalam filsafat, sering terjadi kekeliruan kategori yang dikenal dengan istilah ‘category mistakes’.

1. Kekeliruan Kategori (category mistake)
            Salah satu teori Ryle yang menyoroti masalah penyimpangan atau penyalahgunaan bahasa biasa dikenal dengan  istilah category Mistake(kekeliruan teori)Kekeliruan teori adalah  kekeliruan atau kegalatan yang terjadi ketika seseorang menggambarkan fakta yang sebenarnya termasuk kategori yang satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori lainnya. Dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Misalnya ;
Seorang anak kecil sedang menyaksikan pawai atau parade barisan ABRI. Di sana ia melihat ada parade Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan kepolisian. Kemudian anak kecil tadi bertanya kapan barisan ABRI akan melewati  tempat itu.
Ia mengira ABRI termasuk kelas yang sama dengan angkatan darat, laut, udara dan kepolisian yang dilihatnya tadi. Pertanyaan yang diajukan anak kecil tersebut  merupakan suatu kekeliruan  teori, sebab parade angkatan itu  semuanya temasuk ABRI.   
Menurut Ryle, dalam filsafat penggunaan bahasa sehari-hari sering juga mengalami kekeliruan kategori, sehingga persoalan-persoalan filsafat seringkali timbul karena kekeliruan tersebut.
            Analisis tentang penggunaan bahasa sehari-hari dilakukan Ryle terhadap konsep Descartes. Filsafat Descartes ini tentang manusia bertumpu pada suatu category mistake. Pandangan descartes tentang manusia ini, berdasarkan pada pandangan  yang dualistik yaitu dua substansi yang berbeda yang meliputi roh atau substansi yang berfikir (res cogitans) dan materi yang meluas (res extensa).

2. Bahasa Biasa ( the ordinary language )
            Filsafat bahasa biasa yang berdasarkan pada suatu konsep bahwa masalah-masalah filsafat dapat diselesaikan dan dijelaskan melalui analsis bahasa. Menurut Ryle perlu dibedakan antara  ‘penggunaan dari bahasa biasa’ ( the use ofordinary language ) dan ‘penggunaan bahasa yang biasa’ ( the ordinary linguistic usage ) dan antara ‘penggunaan bahasa biasa’( the use of ordinary language ) dengan penggunaan yang biasa dari ungkapan ( the ordinary use of the expression ). Ketika kita membahas penggunaan bahasa biasa, maka perlu diperjelas pengertian biasa dalam masalah ini, dipahami sebagai lawan dari pengertian ‘luar biasa’, ‘esoteris’, ‘teknis’, ‘puitis’,  ‘notasional’. Pengertian ‘biasa’(ordinary) berarti ‘umum’ atau yang sedang berlangsung (current), bahasa pergaulan sehari-hari (colloquial), atau bahasa harian, bahasa yang sederhana (vernacular), bahasa alamiah (natural language).

II. John Langshaw Austin
            Austin memiliki perhatian terhadap filsafat biasa, dalam arti penggunaannya dalam pergaulan hidup sehari-hari. Menurut Austin, kita akan memdapatkan pelajaran yang sangat banyak dari perhatian kita terhadap bahasa sehari-hari yang digunakan dalam pergaulan hidup. Ia memiliki ciri yang khas dibandingkan dengan Wittgenstein dan Gilbert Rille. Austin  dalam pemikiran filsafat bahasa biasanya menaruh perhatian dan menekuni tentang pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang (speech act) tindakan-tindakan bahasa.

1. Pembedaan Ucapan Bahasa
Pembedaan ucapan-ucapan bahasa terdiri dari :
Ø  Ucapan konstatif
Ucapan konstatif adalah salah satu jenis ucapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual. Dalam setiap ucapan konstatif ini terkandung  suatu pernyataan  yang memungkinkan si pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris, atau berdasarkan pengalaman baik secara langsung maupun tidak (Mustansyir,1995 :104)
Contoh :
a)  Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945.
b)  Banyak tenaga  kerja wanita  terlantar dan bermasalah  di Arab Saudi.
Contoh kalimat di atas dapat dibuktikan benar atau salahnya berdasarkan fakta atau kejadian itu sendiri.
Ø  Ucapan formatif
Ucapan ini tidak dapat ditentukan benar dan salah berdasarkan peristiwa atau fakta yang telah lampau melainkan suatu ucapan  yang memiliki konsekwensi perbuatan  bagi penuturnya. Ciri dari ucapan formatif yaitu, orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu, serta terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.
Contoh:
a) Saya mengangkat saudara menjadi Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas  Andalas.
b)  Saya berjanji akan memberi hadiah kepada saudara, jika saya naik pangkat.
Ucapan di atas tidak dibuktikan benar atau salahnya baik berdasarkan logika maupun fakta yang terjadi melainkan layak atau tidaknya jika diucapkan oleh seseorang.Ucapan formatif juga tidak berkaitan dengan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan yang diucapkan oleh seseorang, melainkan ucapan tersebut akan tidak layak diucapkan jika seseorang tersebut tidak memuiliki kewenangan dalam mengucapkannya. Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh ucapan formatif adalah :
1.      Tidak akan sah jika diucapkan oleh seseorang yang tidak memiliki kompetensi dengan masalah tersebut.
2.      Tidak sah jika seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak bersikap jujur.
3.      Tidak sah jika seseorang yang bersangkutan menyimpang dari apa yang diucapkannya.

2. Tindakan Bahasa
            Menurut Austin, suatu tindakan bahasa tidak sekedar mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi dapat mencerminkan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturan, dan dapat pula mengandung maksud tertentu untuk mempengaruhi orang lain. Oleh karena itu Austin membedakan tindakan bahasa menjadi tiga jenis, yaitu tindakan lokusi (locutionary act), Illokusi (illocutionary act) dan perlokusi ( perlocutionary act ).


a. Tindakan lokusi (locutionary act)
       Tindakan ini untuk mengatakan sesuatu secara jelas dan pasti, maksudnya gaya bicara si  penutur dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya.
Contohnya :
a) Ikan paus adalah binatang menyusui
b) Ada seekor kucing di kebun
Kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Ucapan ini tidak menuntut tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
Tindakan lokusi digolongkan atas tiga macam :
1. Tindakan ponetik (Phonetic Act)
Tindakan fonetik adalah  suatu tindakan bahasa dengan mengucapkan bunyi tertentu.  Unsur terkecil struktur bahasa adalah berupa kata, sedangkan kata terdiri atas fonem-fonem yang menyusun suatu  sistem simbol tertentu sehingga memiliki makna leksikal. Oleh karena itu dalam suatu tindakan bahasa pasti dilakukan melalui tindakan  mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. 
2. Tindakan Phatic (Phatic Act)
Tindakan phatic merupakan suatu sub klas dari tindakan bahasa lokusi, yaitu berupa pengucapan kosa kata tertentu, misalnya jenis-jenis bunyi  tertentu yang membentuk suatu tata bahasa tertentu, contoh :
            Dia berkata, “Saya akan tidur di kamar”.
            Dia berkata, “Pergi!”.
Seperti contoh di atas tindakan patic merupakan suatu penampilan bunyi bahasa dalam suatu sistim kosa kata yang tersusun dalamsuatu tata bahasa.
3. Tindakan ratic (Rhetic act)
indakan bahasa ratic adalah penampilan suatu tindakan bahasa dengan menggunakan kosa kata tertentu yang ada pada ‘phatic act’ dengan acuan dan pengertian yang sudah pasti,contoh :
            Dia berkata bahwa dia akan tidur di kamar
            Dia berkata bahwa dia menyuruhku pergi
Dari contoh tindakan phatic dan tindakan ratic dapat disimpulkan bahwa tindakan phatic merupakan kalimat langsung, sedangkan  tindakan ratic adalah kalimat tidak langsung.


b. Tindakan Illokusi (Illocutionary Act)    
       Menurut Wijana (1996:18), tindakan ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Menurut Austin tindakan ilokusi adalah suatu penampilan tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, yang dilawan dengan suatu tindakan  bahasa dengan mengatakan sesuatu. Tindakan ini dibedakan menjadi lima macam, yaitu :

(1). Verdictives
       Suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu yang ditandai dengan adanya suatu keputusan  sebagaimana dilakukan oleh hakim, wasit dan juri. Tindakan ini memiliki suatu hubungan dengan kebenaran dan kesalahan. Tindakan bahasa yang termasuk tindakan verdiktif adalah; membebaskan, menghukum, memutuskan, menyangka, menafsirkan dan lain-lain.

(2). Exercitives       
        Suatu jenis tindakan bahasa yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh. Contohnya ; menunjuk. memilih, memerintah, memaksa, menasehati, memperingatkan, memproklamirkan dan lain-lain.  

(3). Commistives
     Jenis tindakan bahasa  dengan melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Si penutur bahasa mengucapkan suatu tindakan bahasa dalam melakukan  suatu perbuatan atau perjanjian. Hal ini memiliki konsekuensi kepada si penutur bahasa untuk melalukan sesuatu. Tindakan ini berhubungan dengan  tindakan verdiktif dan exersitif.Contoh; berjanji,  melakukan, kontrak, bersumpah, menyetujui, melawan dan lain-lain.

(4). Behabitives
     Suatu tindakan bahasa dalam melakukan sesuatu yang menyangkut simpati, sikap memaafkan, memberikan selamat yang timbul dalam komunikasi sosial. Contohnya ; pemberian selamat, pemberian maaf, ikut berduka cita dan lain-lain.

(5). Expositives
     Expositives adalah sekelompok tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan memberikan suatu pandangan, keterangan, pendapat, dan penjelasan tentang penggunaan-penggunaan acuan.

c. Tindakan Perlokusi (Perlocutionary act)
       Suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan efek, reaksi, respon atas pikiran atau tindakan pada orang yang diajak berbicara. Tindakan ini memiliki hubungan dengan akibat yang ditimbulkan, berkaitan dengan isi ucapan atau ungkapan bahasa bagi si pendengar. Ungkapan yang termasuk perlokusi adalah ; meyakinkan, menipu, menakuti, membujuk, merayu, mengarahkan dan lain-lain.

III. Peter Strawson
            Konsep pemikiran Strawson terdapat dalam karyanya yang berjudul ‘Individuals’. Di dalam karyanya munculnya kata metafisika secara eksplisit. Ia juga penganut paham filsafat bahasa biasa, sebagaimana diketahui bahwa filsuf yang menganut filsafat bahasa biasa tidak mengembangkan doktrin mengkritik metafisika, dan persoalan metafisika bagi penganut  bagi penganut ‘ordinary language’ kurang mendapat tempat. Hal ini yang mengakibatkan Strawson mendapat perhatian, karena di samping ia tetap setia dengan ‘ordinari language’, ia berupaya untuk mengangkat kembali pamor ‘metafisika’ di kalangan  filsuf Inggris.
            Menurut beliau melalui filsafat bahasa biasa, filsuf dapat mengembangkan konsep-konsepnya, namun tidak boleh dibatasi hanya pada penyelidikan itu saja. Filsafat juga  harus berusaha melukiskan  ‘our conceptual structure’, yaitu susunan konsep dasar  yang menandai pemikiran kita. Srtawson beranggapan bahwa dalam pemikiran terdapat sejumlah konsep dan kategori yang tidak berubah dan oleh karena itu tidak mengenal sejarah.
            Masalah pokok yang dibahas di dalam ‘individuals’ yaitu persoalan referensi atau menunjuk  kepada suatu objek. Dalam ucapan-ucapan yang kita kemukakan senantiasa menunjuk kepada suatu objek. Strawson ingin memecahkan makna bahasa yang dipahami oleh si penutur bahasa tanpa menimbulkan kemaknagandaan.Untuk itu harus dicari objek-objek individuals yaitu ‘sense data’ atau sense impressions’ misalnya merah dan semua objek lain dapat diasalkan kepada data-data atau kesan-kesan itu . Suatu objek individual dan semua objek lain dapat diidentifikasikan melalui objek individual itu. Kasus yang mudah yaitu, bilamana objek yang ditunjukkan itu hadir sendiri. Misalnya ‘orang yang duduk di situ di ujung deretan pertama’. Dalam masalah ini tidak terdapat  suatu kesulitan apapun. Permasalahannya adalah bagaimana kalau yang kita maksudkan adalah objek yang tidak hadir. Misalnya ‘orang yang memakai topi hitam’ hal ini memungkinkan bagi pendengar bahwa ucapan itu tentang orang lain dari yang dimaksudkan. Menurut Strawson untuk menghindari kedwiartian, yaitu dengan menentukan objek individual itu dalm ruang dan waktu. Misalnya pada contoh   ‘orang yang memakai topi hitam’, orang yang bersangkutan dapat dilukiskan misalnya ‘orang yang memakai topi hitam, yang berdiri lima meter di sepan pintu gerbang gedung MPR RI di Jakarta, pada tanggal 10 Oktober 1998 jam 10.00 pagi WIB’.Objek individual yang dilukiskan dalam rangkasistem ruang dan waktu adalah objek-objek material. Jadi itulah individu-individu yang dimaksudkan  oleh Strawson yang memungkinkan kita mengidentifikasikan hal-hal lain seperti ‘pengalaman psikis’, peristiwa-peristiwa, proses-proses dan bagian-bagian fisis yang kecil.
            Konsep Strawson  yang menarik secara khusus adalah tentang ‘persona’. Konteksnya adalah  kesulitan yang dialami oleh para filsuf untuk mengidentifikasikan  keadaan-keadaaan sadar, dengan menunjuk kepada objek-objek material. Berdasarkan penyelidikannya, terdapat dua kemungkinan  yang harus ditolak keduanya. Kemungkinan pertama ‘the no ownership theory’ yaitu suatu pendapat bahwa suatu keadaan sadar tidak mempunyai pemiliknya. Misalnya apakah artinya  seseorang  berbicara tentang ‘saya’, bilamana dikatakan ‘rasa sakit saya, pengalaman saya’ dan lain-lain. Kemungkinan yang kedua adalah teori berdasarkan dualisme. Dengan demikian, maka keadaan-keadaan sadar yang dimiliki oleh suatu ‘privat ego’, suatu aku yang tersembunyi bagi orang lain. Jika membicarakan ‘pengalaman saya’ berarti membedakannya dengan pengalaman orang lain. Menurut Strawson hanya ada satu jalan keluar untuk mengatasi kesulitann ini, yaitu dengan mengakui ‘persona’ sebagai suatu konsep yang tidak dapat dianalsis lagi. Konsep ‘persona’ tidak dibentuk oleh konsep ‘tubuh’ dan konsep ‘roh’, tetapi merupakan suatu individu yang tunggal.
            Strawson berupaya untuk memberikan suatu argumentasi-argumentasi atas akal sehat kita, terutama dalam pemikirannya tentang objek-objek material dan persona. Konsep Strawson sangat khas terutama di kalangan filsafat bahasa biasa yang lazimnya kurang akrab dengan analsis bahasa yang berkaitan dengan metafisika dan Strawson berupaya mencobanya melalui ‘ordinary language








DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan   Tanda. Bandung : Remaja Rosdakarya
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa. Yokyakarta : Paradigma
Mustansyir, Rizal. 1995. Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para        Tokohnya. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Wijana, I Dewa Putu.1996.  Dasar-Dasar Pragmatik. Yokyakarta : Andi